Wednesday, 18 April 2007
Wednesday, 14 March 2007
b a t a v i a
Menelusuri trotoar sepi di bawah lampu mercury
Tak ku temui lagi kau di halte sunyi sebelum kembali
Dan obrolan riang di warung kopi
Semua tlah kutinggalkan
Walau sulit terlupakan
Malam panjang melelahkan
Di
Tapi disini
Masih ku nanti mentari pagi
Sinarnya masihlah indah
Karena kehidupan terus berjalan
Dan kita masih tetap bertahan
Merengkuh angan, kawan…
Kepada Mentari
Tinggalkan sebercak merah
sebagai jejak
Bergeserlah kearah barat katulistiwa
Dan menghilanglah ke balik mega
Sampaikan salamku
Kepada sahabatku disana
Ceritakan tentang diriku
Kepada mereka
Bila mereka bertanya kepadamu
Tentang bagaimana keadaanku
Katakan,
aku baru saja melepasmu
Satu jam yang lalu
Dan bila kau kembali
Menemuiku esok hari
Bawakan kisah tentang mereka
Sebelum lewat senja
ke laut
Kini, kutelusuri lagi jalur sepi
Menuruni lereng terjal berliku
Untuk datang menjemputmu
Namun dirimu lebih suka terbang ke awan
Mengepakkan sayapmu, dan berlalu
Aku pun terus menyelam, ke dasar lautan
Mencari kepingan tiram kebijaksanaan
Dan menyelam
Lebih dalam
Lalu bersemayam
Di samodra kelam
r a j a w a l i
Melayang membumbung tinggi
Di kaki langit, di lembah sunyi
Sepanjang hari
Sayapnya membentang di cakrawala
Matanya menatap tajam, menyala
Sayap yang terluka
Mata yang membara
Angin berhembus tak pasti
Dengan sayapnya ia meniti
Mencari kedamaian diri
Memenuhi panggilan hati
Rajawali pun terbang sendiri
Melayang membumbung tinggi
Mencari, dan mencari
Selalu sendiri…
Dalam Integral Kehidupan
bagiku sama saja
kilas wajahmu masih saja tersisa
di lensa mata
sehasta, sedepa, atau tak terhingga
bagiku tiada beda
bayang wajahmu masih saja merona
di hamparan mega
tak penting lagi dimana
tak pusing lagi berapa lama
ruang waktu tak berlaku
kita masih bisa bertemu
berpuluh, beratus, beribu kali
kita bertemu dalam mimpi
dalam lena, terpana
dalam lanturan pikiran
hingga kita berpisah
dalam khayal
melepaskan genggaman dalam lamunan
memeluk kenyataan
dan memberikan tempat kepada jarak
yang dengan senang hati menemani kita
sampai di ujung senja
ya, kita tengah berjalan
p u l a n g
Melampaui puncak tinggi menjulang
Mengarungi samudera luas membentang
Mengatasi topan badai menghadang
Sayap yang terkoyak
bulu-bulu yang terombak
Tak halangi tekadku
Menuju tanah-airku
Sinar surya menjadi pedoman
Bintang-bintang penunjuk jalan
Aku terbang 'tuk kembali pulang
Mengarungi samudera luas membentang
Hingga terdampar di pasir landai
Sisa tenaga menuju pantai
Tapi 'ku senang kembali pulang
Terbang menerjang badai menghadang
Melintasi samudera luas membentang
Meniti puncak tinggi menjulang
Melewati topan badai menghadang
Terus terbang kembali pulang
Pagi yang Menakjubkan di Serpihan Ibukota
Jalan mulai dipenuhi sepeda yang berlari
Tukang sayur, tukang tahu, dan tukang roti
Melaju, menyerbu, mengawali hari
Jam enam pagi,
Tukang singkong goreng menyiapkan dagangannya
Tukang warteg bersiap membuka warungnya
Pedagang di pasar menunggu penglarisnya
Tepat sebelum matahari beranjak dari peraduannya
Jam tujuh pagi,
Sinar sang surya menerobos gedung-gedung tinggi
Menembus kabut tipis kecokelatan, warna polusi
Knalpot kendaraan, jeritan klakson, lengkingan peluit Pak polisi
Jam delapan pagi,
Ibu-ibu keluar rumah membawa uang belanja
Yang kerja lekas bergegas meninggalkan sisa sarapannya
Jam sembilan pagi,
Suara penyiar RRI terdengar nyaring di radio tetangga
"Varia nusantara!" diiringi musik mars membahana....
Membangunkan si malas yang masih pulas dengan mimpinya
Mimpi tentang enaknya jadi orang kaya
Sungguh, pagi yang menakjubkan di serpihan ibukota!
(021)
Sayup terlihat terminal penumpang nusantara
Sementara Jakarta makin tersamar oleh kabut jelaga
Tatkala hati gamang antara kerinduan dan kemuakan
Wajah ibu dan tai lalat Megawati
Senyum ayah dan kopiah Habibie
Kawan lama dan proses perhitungan suara
Kini,
Gedung angkuh menonjok angkasa
Apartemen, mal, plasa, dan jalan tol dalam
Menara kaca menyilaukan mata
Asap knalpot dan debu jalan mengedarkan timbal dan influenza
Jakarta berubah sekarang, makin arogan…
Barikade jalan, kawat berduri, tameng PPRM dan PHH
Peluru hampa, peluru karet, peluru tajam, gas airmata
Berserakan di jalan-jalan protokol ibukota
Di mana-mana laras senapan dan panser lapis baja
Mengarah dengan galak ke wajah rakyat dan mahasiswa
Lagaknya seperti orang kaya yang tak kehabisan
Banyak tingkah di depan kaum papa
Seolah mengejek, menertawakan kemelaratan
Jauh sebelum Pangeran Jayakarta merebut Sunda Kelapa
Sebelum berganti nama dari
Tak ada yang pernah mendengar satu
m i g r a n
Kehabisan tenaga begitu tiba di tepi pantai
Setelah berhari-hari terbang menerjang badai
Akhirnya dia kembali pulang
Serombongan burung layang-layang ekor garpu
Melayang-layang dengan riang
Membumbung, menukik di udara
Setelah tiga tahun terbang mengembara
Mereka pun pulang membangun sarang
Sepasang burung bangau baru saja tiba
Mereka selalu kembali ke tempat kelahirannya
Setiap tahun pada hari yang sama
Mereka terus terbang ke satu tujuan
Seperti uap awan yang menjelma menjadi hujan
Lalu mengalir dan kembali kepada birunya lautan
Triesna
menyinari bumi mengawali hari
Setetes cinta
jatuh ke tanah lalu mengalir menuju samudra
Sepetak cinta
yang digarap petani sepenuh hati
Sejumput cinta
yang diperoleh dari butir-butir padi
Seekor cinta
terbang riang di angkasa
Sejengkal cinta
menjadi tak terhingga
Seonggok cinta
tergeletak di bawah tangga
Seorang cinta
menyia-nyiakan lalu melupakannya
Selembar cinta
dirobek dari buku sejarah bangsa
Secarik cinta
dikirim kepada Yang Maha Kuasa
Sebaris cinta
dibacakan dan dipanjatkan berulang kali
Selaksa cinta
tersirat dalam tatapan mata
Sebait cinta
ditulis dengan tinta dan air mata
Sebutir cinta
tiga kali sehari sesudah makan
Sebotol cinta
memuaskan dahaga
Selinting cinta
mengepulkan asap
menurunkan kelopak mata
Mendekati Akhir Millenium
Sejam yang lalu,
Sehari yang lalu'
Minggu lalu,
Bulan lalu,
Tahun lalu,
Seolah berbalik arah
Menjadi sejarah
Sisa ingatan
Menjadi kenangan
Dan kita terus berjalan
Entah, hingga kapan
Lalu,
Untuk apa merasa kehilangan?
Sama Saja
dan dunia akan bersukaria bersama
mentari '
bumi '
langit '
Jagad raya akan bersorak gembira
perjalanan akan lebih bermakna
Begitu yang ku dengar dari bunga-bunga,
burung madu, kupu-kupu, dan embun pagi
Lalu aku pun tersenyum
Dengan tulusnya
Dengan keikhlasan tak terhingga
Dan kehidupan pun terus berjalan
Tak ada perubahan
Bumi terus berputar
Matahari tetap bersinar
Seperti biasa
Seperti seharusnya
Tak ada bedanya
Walau aku tersenyum atau tertawa
Berita Kapal
Panggilan,
Ditujukan kepada Paijan
Penumpang asal
ditunggu saudaranya di ruang informasi
Beliau benar-benar membutuhkan informasi
Karena berita-berita di berbagai media
yang dia baca setiap hari semakin tidak pasti
Pengumuman,
Ditujukan kepada para penumpang kelas I, kelas II,
dan kelas III wisata
Hidangan lezat telah tersedia di ruang makan
Bagi penumpang yang ingin bersantap
dapat segera beranjak ke restoran
Kami menyediakan banyak makanan
Bahkan cukup untuk persediaan selama pelayaran berbulan-bulan
Berjaga-jaga kalau sampai terjadi peperangan
karena perpecahan atau perebutan kekuasaan
Pemberitahuan,
Ditujukan kepada para penumpang kelas I, kelas II,
dan kelas III wisata
Bagi yang ingin bersantai sejenak menghilangkan rasa sumpek
dapat menikmati hiburan di restoran kelas satu
Berdansa ria sambil menikmati lagu
Melupakan nyanyian kehidupan yang makin sendu
Krisis moneter yang membuat kita makin keteter
Harga dan dosa yang membumbung tinggi
Laju inflasi dan fluktuasi
Memaksa kita terus berlari
Peringatan,
Ditujukan kepada penumpang-penumpang kelas ekonomi
Itu ompreng-ompreng makanan harap dikembalikan ke pantri
Kasur-kasur jangan dibawa lari
Pelampung-pelampung jangan dicuri
Air panas hanya disediakan setiap pagi
Setelah itu harus cari sendiri
Tertanda, Mualim II